Merek
adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,
susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Merek
memiliki banyak fungsi, di antaranya ia mencerminkan sebuah barang atau
jasa dari segi jenis, kualitas, mutu, dan cara penyajian. Seorang
konsumen yang pergi ke restoran Kentucky Fried Chicken, misalnya,
menganggap bahwa tingkat kualitas makanan di semua restoran yang
berlabel Kentucky Fried Chicken semua sama, terlepas dari jarak antara
mereka. Artinya, restoran KFC di Amerika sama dengan KFC di Indonesia
dalam hal kualitas, mutu dan cara penyajian, meskipun jaraknya jauh.
Merek
merupakan problematika baru yang muncul seiring makin menggeliatnya
aktivitas bisnis. Merek digunakan pertama kali di negara-negara eropa.
Sebab itu, pada sekitar pertengahan abad 19, berbagai undang-undang
tentang perlindungan merek mulai bermunculan di sana. Baru pada sekitar
permulaan abad 20, merek mulai masuk di komunitas masyarakat Islam. Dari
sini para ulama berusaha mengkaji hakekat merek dan hukum memakainya
sebagai objek transaksi, agar masyarakat khususnya pemakai merek merasa
nyaman akan legalitas transaksi tersebut.
Hakekat Merek
Ulama fiqih kontemporer memasukkan merek ke dalam beberapa kategori: Pertama, merek sebagai harta kekayaan (al-Mal). Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang pengertian dan cakupan al-Mal.
Ulama mazhab Hanafi membatasi cakupan harta hanya pada barang atau
benda, sedangkan mayoritas ulama memperluas cakupannya sehingga tidak
terbatas pada benda saja, tapi juga hak-hak (huquq) dan manfa’at (manafi’).
Dalam
hal ini, penulis menganggap pendapat mayoritas ulama lebih unggul
dibanding pendapat ulama mazhab Hanafi yang membatasi pengertian harta
hanya pada benda atau barang saja. Hal itu karena pendapat kedua ini
tidak relevan dengan perkembangan zaman. Buktinya, sekarang banyak hal
yang bukan dalam bentuk barang tetapi dianggap sebagai harta kekayaan,
seperti hak cipta dan hak paten yang bisa dikomersilkan dan mendatangkan
keuntungan materi bagi pemiliknya.
Untuk
saat ini, salah satu hal non materi tetapi bisa dikomersilkan dan dapat
mendatangkan keuntungan luar biasa bagi sang pemilik adalah merek.
Sebuah merek akan mendatangkan keutungan bagi pemiliknya apabila
terkenal akan kualitas barangnya sehingga banyak diminati oleh para
konsumen. Bahkan, kadang-kadang harga sebuah merek jauh lebih mahal dibanding harga perusahaannya.
Barangkali,
hasil riset perusahaan Firma riset Millward Brown BrandZ akan membuat
kita tercengang, di mana perusahaan itu menempatkan Google sebagai merek
terbaik di bidang teknologi dalam daftar 100 merek paling berharga
tahun 2010. Disusul dengan merek Apple, IBM, dan Microsoft pada posisi
kedua, ketiga, dan keempat.
Millward
Brown menilai merek Google bernilai lebih dari US$114 miliar. Jumlah
ini 14% lebih besar dari nilai pada 2009. Sedang nilai IBM meningkat 30%
menjadi US$86 miliar, dan Apple 32% (US$83 miliar). Microsoft berada di
posisi keempat dengan nilai merek sebesar US$76 miliar. Di bawahnya terdapat produsen minuman ringan Coca Cola dengan nilai merek diperkirakan sebesar US$68 miliar.
Semua
fakta di atas menunjukkan kepada kita betapa merek telah menjadi harta
yang bisa mendatangkan manfaat bagi pemiliknya. Karena itu, ia wajib
dijaga dan dilindungi.
Kedua, Merek bisa dijadikan sebagai hak milik (milkiyah).
Ia bisa dijadikan sebagai hak milik karena merupakan harta yang
bermanfaat dan mendatangkan maslahat bagi perusahaan pemilik maupun bagi
konsumen. Apalagi sang pemilik telah mengucurkan tenaga, pikiran, waktu
dan dana yang tidak sedikit untuk membuat sebuah merek berikut produk
dengan kualitas baik, lalu mempublikasikannya melalui iklan-iklan di
televisi, radio, internet dan lain-lain, yang kesemuanya juga
membutuhkan biaya. Sebab itu, maka sangat pantas bila jerih payahnya
dilindungi dan kepemilikanya terhadap merek diakui.
Perlindungan Atas Merek
Pada
dasarnya perlindungan atas merek dalam syariat Islam kembali kepada
perlindungan atas harta dan hak milik. Islam sangat menghormati harta
dan hak milik. Kaitanya dengan harta Islam menjaganya dengan cara
mensyariatkan berbagai macam transaksi seperti jual beli, sewa menyewa,
pergadaian, sebagaimana Allah mengharamkan riba, penipuan, pencurian,
dan mewajibkan hukuman potong tangan bagi pencuri.
Sedangkan
tentang hak milik, Islam bukan saja mengakui hak milik tetapi juga
melidunginya dari manipulasi dan pemborosan. Sebab itu Islam
mensyariatkan validasi hutang dengan cara mencatatnya, sebagaimana
firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhutang
piutang tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar.” (Al-Baqarah: 282).
Akan
tetapi di sana-sini kita masih sering mendengar berita pemalsuan merek
yang bukan hanya merugikan pemilik merek tetapi juga konsumen. Masih
hangat di pikiran kita pemalsuan Merek DUNKIN’ DONUTS dengan DONATS’ DONUTS di Yogyakarta, di mana merek DUNKIN’ DONUTS milik DUNKIN’ DONUTS INC., USA yang telah terdaftar di banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Pemalsuan
merek melanggar undang-undang Negara Republik Indonesia, terutama UU
nomer 15 tahun 2001 tentang merek, sebagaimana melanggar Syariat Islam.
Karena itu, maka hukumnya haram sebab termasuk dalam kategori penipuan,
bahkan kadang-kadang pemalsuan merek bisa mengancam keselamatan
konsumen, terutama apabila yang dipalsukan berupa merek makanan,
minuman, atau obat-obatan.
Barangkali
kita masih ingat kejadian pesta minuman keras oplosan yang berujung
maut di Wonogiri pada bulan Februari lalu, di mana polisi mensinyalir
adanya pemalsuan merek oleh pabrik pembuat dengan nama Vodka.
Kejadian
di atas – terlepas dari hukum haram mengkonsumsi minuman keras –
merupakan salah satu bukti betapa pemalsuan merek bisa merugikan banyak
pihak, baik kerugian berupa material, bahkan kadang bisa merugikan
kesehatan. Oleh karena itu, para ulama fiqih mengharamkan pemalsuan
merek.
Sedangkan
mengenai hukuman yang pantas buat pemalsu, dalam syariat Islam tidak
ada nash yang membahasnya. Oleh sebab itu maka hukuman yang paling cocok
– menurut hemat penulis - adalah ta’zir karena ta’zir merupakan hukuman
terhadap suatu kejahatan yang belum ada ketentuanya dalam syariat
Islam. Hukuman ta’zir merupakan hak prerogatif pemerintah; apa hukuman
yang pantas diberikan kepada pelanggar, dengan mempertimbangkan bentuk
pelanggaran, keadaan pelanggar serta ekses yang timbul akibat
pelanggaran itu.
Merek Sebagai Objek Transaksi
Telah
disebutkan di atas bahwa fiqih menganggap merek sebagai harta kekayaan
yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan. Dari sini fiqih
melegalkan merek sebagai objek transaksi, baik dalam transaksi jual
beli, sewa menyewa (pemberian lisensi), dan sebagainya.
Pertama, Jual beli merek. Kurang
lebih ada dua metode jual beli merek: cara pertama, suatu perusahaan
membeli merek dari perusahaan lain dengan kesepakatan perusahaan penjual
akan menyertakan para pakar guna mengajarkan kepada karyawan perusahaan
pembeli tentang tata cara pembuatan barang sesuai standar kualitas
barang yang diproduksi perusahaan penjual.
Jual
beli jenis isi, pada hakekatnya, merupakan jual beli atas pengalaman,
sedangkan penyertaan merek merupakan kompensasi dari jual beli itu. Oleh
karena itu maka hukumnya boleh dengan dua syarat; merek tersebut harus
terdaftar secara sah dan jual beli itu tidak menyebabkan penipuan bagi
konsumen.
Cara
kedua, jual beli antara kedua perusahaan tanpa disertai kewajiban
penjual untuk mengajarkan tata cara pembuatan barang. Adapun tujuan jual
beli itu hanya agar barang produksi perusahaan pembeli laku keras di
pasaran karena memakai merek itu. Hukum jual beli ini adalah haram
karena adanya unsur penipuan, dan menyebabkan salah faham bagi konsumen.
Kedua: Menyewakan merek (memberikan lisensi). Dalam tradisi bisnis modern kita sering mendengar istilah lisensi, yaitu izin
yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui
suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak)
untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis
barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat
tertentu.
Dari
definisi di atas bisa kita ketahui bahwa akad pemberian lisensi secara
substantif sama dengan akad ijaroh dalam fiqih klasik. Ijaroh
(operasional lease) dalam fiqih sering diartikan sebagai akad pemindahan
hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Akad ini
disyariatkan dalam Islam karena kebutuhan manusia untuk saling menyewakan barangnya.
Dalam
fiqih klasik objek yang boleh disewakan tidak terbatas pada barang
saja, namun manfaat barang juga boleh disewakan dengan syarat manfaat
itu diketahui secara jelas, bisa dipakai dan berupa manfaat yang mubah
secara syara’. Oleh karena itu maka akad lisensi hukumnya legal secara syara’ karena termasuk dalam akad sewa menyewa.
Dari
pemaparan di atas bisa kita tarik garis kesimpulan bahwa merek masuk
dalam kategori harta, sebab itu seluruh ketentuan-ketentuan yang berlaku
pada harta benda juga berlaku padanya, seperti bolehnya dimiliki dan
dijadikan objek akad (al-ma’qud ‘alaih), baik akad mu’awadhah (pertukaran, komersial), maupun akad tabarru’at (nonkomersial), serta dapat diwaqafkan dan diwariskan.
Di
samping itu, merek dilindungi dalam fiqih. Menjiplak, meniru, atau
memalsukan merek hukumnya haram, dan para pelakunya akan dikenai hukuman
ta’zir, yang bisa berupa denda, penjara, atau apa saja yang menurut
pemerintah patut diberikan, dengan mengaca pada pelaku pelanggaran,
jenis pelanggaran, dan sejauh mana dampak pelanggaran itu terhadap
aktivitas bisnis maupun terhadap konsumen. Wallahu a’lam..
Sumber : www.pesantrenvirtual.com